Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus. Akan diproses 1 s/d 7 hari.
Jakarta - Kejadian ini saya alami sendiri pada hari Sabtu, 11 Agustus 2007. Tertarik oleh promo Kartu Debit Mandiri. Kalau kita membeli bensin premium senilai 100 ribu dan membayarnya memakai kartu debit Mandiri dapat bonus 10 liter gratis. Hare gene siapa yang gak tergiur dengan promo itu. Maka hari Sabtu, 11 Agustus 2007 kira-kira pk 15.50 saya bersama isteri pun meluncur ke SPBU Pertamina terdekat yang ditunjuk untuk melayani promo itu di Jl Gatot Subroto (tepatnya disebelah gedung Patra Jasa). Kebetulan sekali, bensin mobil saya memang sudah habis. Jarum penunjuknya sudah ke huruf E (empty). Suasana Jl Gatot Subroto saat itu cukup lancar. Namun, setelah belokan ke Jl Guru Mugni (depan Menara Global), saya lihat sudah ada antrian di sisi sebelah kiri jalan. Saya sudah menduga pasti ini antrian untuk membeli bensin. Namanya juga mau dapat gratisan sudah risiko kalau harus antri). Ada 2 baris antrian saat itu dan saya langsung ambil antrian yang paling kiri (dekat trotoar). Antrian cukup tertib walaupun butuh waktu cukup lama untuk bisa bergerak. Sementara di sisi sebelah kanan jalan saya perhatikan lalu lintas cukup lancar karena hari Sabtu Jl Gatot Subroto ada 4 lajur. Di barisan sebelah kanan saya ada mobil polisi KIA Carens warna abu-abu berisi 2 polisi. Saya sempat bertanya-tanya juga masa polisi mau ikut antri bensin gratisan. Apalagi buat mobil operasional apakah tidak ada jatah dari kantor. Kira-kira di seberang gedung Jamsostek, tiba-tiba salah satu polisi itu turun dari mobil dan berjalan kaki ke arah SPBU. Saya sempat berpikir mungkin dia mau membantu mengatur kelancaran antrian. Kira-kira pk 16.30 ketika saya sudah sampai di barisan paling depan sebelum masuk ke pelataran SPBU (mobil di depan saya sudah masuk ke SPBU) tiba-tiba datang segerombolan polisi (sekitar 5 atau 6 orang) naik motor gede Yamaha, berhelm putih, dan sepatu boots serta mengunakan ban warna biru di lengan kirinya bertulis 'BM'. Mereka memotong jalan di depan saya serta langsung memarkir motor-motornya menutupi jalan masuk ke SPBU. Posisi mobil saya saat itu benar-benar di mulut masuk SPBU. Saya ingat di sebelah kanan saya ada mobil Innova warna gold yang dikendarai seorang ibu paruh baya juga dalam posisi siap masuk ke SPBU. Di luar dugaan saya, ternyata maksud mereka mau membubarkan antrian kendaraan itu dan menyuruh kita untuk bubar dengan alasan ujung antrian sudah sampai Semanggi sehingga menganggu lalu lintas. Percuma saja saya capek-capek antri setengah jam lebih terus mereka dengan entengnya menyuruh kita bubar. Salah satu dari mereka menghampiri saya dari pintu sebelah kanan hanya untuk menyuruh saya pergi dari antrian dengan alasan saya menutupi mobil lain yang mau keluar dari antrian. Saya langsung menjawab bahwa itu tidak mungkin karena saya sudah kehabisan bensin dan kalau saya cari SPBU lain berisiko mogok kehabisan bensin. Tetapi, dia sama sekali tidak mau mendengar alasan saya dan tetap menyuruh saya pergi. Saya pun bertahan di situ sambil akhirnya mematikan mesin. Beberapa saat kemudian, beberapa Satpam dari SPBU itu mulai menghampiri polisi-polisi itu dan ujung-ujungnya malah Satpam itu ikut-ikutan membujuk saya untuk pergi. Namun, dengan alasan yang saya kemukakan (bensin habis) saya tetap tidak mau pergi. Kelihatan satpam itu juga jadi bingung karena merasa posisi terjepit. Lalu ada kejadian yang sangat memancing emosi saya ketika salah seorang polisi lain yang bertubuh tambun (saya masih ingat nama yang tertera di seragamnya: 'ISDAR') menggedor-gedor kaca mobil saya sebelah kiri (tempat istri saya duduk). Setelah kaca mobil saya buka dia lalu menghardik saya, "Heh kamu, bukannya pergi malah angkat kaki." Kebetulan saat itu karena lumayan capek sehabis mengantri saya melipat kaki kiri saya ke atas jok mobil. Luar biasa sekali "kesopanan" polisi itu. Dia sama sekali tidak menghargai saya. Dia memanggil saya dengan sebutan "kamu" dan mempermasalahkan saya yang angkat kaki dalam mobil saya sendiri. Kontan saya emosi dan menjawab, "tolong kamu sopan kalau bicara. Urusan angkat kaki itu hak saya". Saat itu emosi saya benar-benar memuncak dan tidak ada lagi rasa hormat saya pada "Abdi Masyarakat" itu. Setelah sempat saling berteriak satu sama lain saya lihat polisi lain datang mendekat dan berusaha memisahkan kita dengan menyuruh Bapak 'Isdar' menjauh dari sisi kiri mobil saya. Sementara mereka menjauh dari sisi mobil saya, saya masih mendengar ocehan Bapak 'Isdar' tetapi tidak jelas lagi kata-katanya. 30 menit berikutnya saya masih menunggu di situ. Saya lihat tidak ada satu pun mobil yang bersedia keluar dari antrian. Di sisi lain, saya melihat gerombolan polisi itu di depan saya. Jarak mereka dari mobil saya kira-kira 10 m. Mereka tidak melakukan suatu tindakan yang nyata untuk memecahkan masalah. Atau mungkin sebenarnya itu bukan masalah tetapi dibuat-buat seakan-akan jadi masalah besar. Mereka hanya mondar-mandir sambil terus berteriak dan menunjuk-nunjuk menyuruh antrian bubar. Sebagian lagi cuma melambai-lambaikan tangan ke aliran lalu lintas (gaya khas polantas) di sisi kanan jalan yang saya lihat memang dari tadi lancar-lancar saja. Lama-kelamaan sudah mulai banyak pemilik mobil yang antri mulai turun dan mengerumuni sambil melancarkan protes ke polisi-polisi itu. Dari dalam mobil saya melihat dengan jelas mimik muka polisi yang dikerumuni orang-orang itu kelihatan mulai panik dan mulai bertahan dengan cara berteriak-teriak, emosi, sambil menuding-nudingkan jarinya ke arah wajah salah satu pemilik mobil. Terakhir saya lihat para petugas SPBU yang berseragam merah mulai bersama-sama keluar dan ikut bernegosiasi dengan polisi (karena antrian mobil yang berhasil masuk ke pelataran SPBU sudah habis dilayani semua sehingga SPBU sudah benar-benar kosong). Tanpa diduga-duga, tidak sampai 5 menit, para petugas SPBU itu bubar dari kerumunan dan langsung berteriak-teriak ke arah antrian bahwa kita bisa masuk. Luar biasa bukan kemampuan negosiasi para petugas SPBU itu. Kira-kira jurus negosiasi apa yang mereka gunakan untuk 'meluluhkan hati' polisi-polisi arogan itu. Dari informasi yang saya dengar angka Rp 200 ribu yang sempat ditawarkan pun ternyata masih belum bisa 'mendamaikan' hati para abdi masyarakat kita. Entah di angka berapa perdamaian itu bisa dicapai. Yang jelas saat saya mengisi bensin saya melihat motor-motor mereka sedang parkir di depan kantor pengelola SPBU. Ternyata naif sekali pemikiran yang sempat terbersit di pikiran saya bahwa gerombolan polisi itu benar-benar concern dengan kelancaran lalu lintas sehingga sampai marah-marah mau membubarkan antrian. Ternyata, isi pikiran mereka tak jauh dari rasa iri karena melihat orang lain kebanjiran rezeki. Dan dengan sewenang-wenang, mereka menggunakan kekuasaan yang diberikan pada mereka hanya untuk dapat 'cipratan' rezeki juga. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau ada antrian mobil di Jl Gatot Subroto gara-gara ada hajatan pernikahan di Gedung Balai Kartini. Lantas tiba-tiba antrian mobil tamu itu dibubarkan polisi dengan alasan menganggu ketertiban lalu lintas. Jangan-jangan kotak angapo-nya harus buru-buru dibuka untuk dibagi-bagi daripada tidak ada yang datang ke hajatan. Herman dan Yessi Jakarta Nama, alamat lengkap, nomor telepon, dan email di redaksi(msh/msh)
Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus. Akan diproses 1 s/d 7 hari.